Studi Pada Pendidikan Anak
Usia Dini Rumah Citta Yogyakarta
Nindya Laksana, Edwin Setiyawan, Dian
Kurniawati
Program Studi Bimbingan dan
Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga
ABSTRAK
Pendidikan
inklusi pada satu sisi merupakan suatu sistem pendidikan yang dirancang untuk
memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus pada tingkat tertentu
berbaur dengan anak-anak normal. Pada sisi lain pendidikan inklusi memunculkan
peluang bagi anak-anak normal untuk berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan
khusus. Dalam interaksi tersebut anak-anak normal diajar untuk peduli dengan
kebutuhan anak lain dan memiliki rasa toleransi pada anak berkebutuhan khusus.
Proses interaksi ini pada akhirnya akan membentuk anak dengan tingkat empati
yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah berbaur dengan
anak berkebutuhan khusus. Rumah Citta merupakan institusi pendidikan anak usia
dini di Yogyakarta yang menjadi tempat penelitian pembentukan karakter pada anak
usia dini melalui pendidikan inklusi. Di Rumah Citta, anak-anak normal berbaur
dengan anak-anak berkebutuhan khusus dalam kelas inklusi. Dari hasil interaksi
dalam kelas, anak-anak normal menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi. Hal
ini dapat terjadi karena adanya pembiasaan anak-anak normal untuk peduli dengan
kebutuhan anak lain, yang dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus. Empati
anak-anak ditunjukkan dalam bentuk respon kesediaan untuk bermain bersama dan
membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Kesimpulan dari hasil penelitian ini
adalah pendidikan inklusi dapat meningkatkan karakter anak pada usia dini,
khususnya dalam hal empati.
Kata kunci: pendidikan karakter,
empati, inklusi.
PENDAHULUAN
Sekolah adalah salah satu lembaga yang bertanggungjawab terhadap
pembentukan karakter pribadi anak (character building), karenanya
disini peran dan kontribusi guru sangat dominan. Sebagai suatu lembaga, sekolah
memiliki tanggung jawab moral bagaimana anak didik itu pintar dan cerdas
sebagaimana diharapkan oleh orang tuanya. Tugas seorang guru tidak hanya
mengajar, tetapi juga mendidik anak, sehingga anak tidak hanya memiliki
kecerdasan kogntif, tetapi juga memiliki karakter yang baik. Ini merupakan
tujuan dari pendidikan, yaitu menciptakan keluaran kesejahteraan lahir dan
batin, terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, sejahtera lahir dan batin, terampil dan
memiliki jiwa kebangsaan (Keosoemo, 2007: 45).
Tujuan pendidikan di atas menunjukkan bahwa budi pekerti merupakan
salah satu sifat yang diharapkan dimiliki oleh siswa sebagai peserta didik. Oleh
karena itu budi pekerti sedini mungkin sudah diperkenalkan pada anak didik untuk
menghasilkan sumber daya yang bermutu sesuai dengan tujuan pendidikan. Budi
pekerti lebih menitikberatkan pada watak, perangai, perilaku atau dengan kata
lain tata krama dan etika. Jadi, pendidikan budi pekerti secara sederhana
diartikan sebagai penanaman nilai-nilai akhlak, tata krama, bagaimana
berperilaku yang baik kepada seseorang. Pada perkembangannya, pendidikan budi
pekerti tidak lagi cukup untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian
yang baik (Isjoni, 2006). Dibutuhkan pendidikan budi pekerti yang tidak hanya
melibatkan relasi sosial anak, tetapi juga melibatkan pengetahuan, perasaan dan
perilaku anak yang berada dalam ranah pendidikan karakter.
Pembentukan karkater (character building) dapat dilakukan
melalui pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan
efektif. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi
segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Isu mengenai pendidikan karakter di Indoensia mulai mencuat pada
tahun 2004 seiring dengan mulai berkembangnya sistem pendidikan inklusi yaitu
sistem pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus ikut berbaur
dalam kelas reguler bersama anak-anak normal. Dalam hal ini anak-anak
berkebutuhan khusus yang dimasukkan dalam kelas reguler adalah anak-anak
berkebutuhan khusus pada tingkat tertentu yang dianggap masih dapat mengikuti
kegiatan anak-anak lain meski memiliki berbagai keterbatasan.
Pengamatan yang dilakukan di lapangan, pada pendidikan anak usia
dini yang menerapkan sistem pendidikan inklusi, dilihat adanya kecenderungan
anak memiliki empati yang lebih besar pada anak-anak berkebutuhan khusus
dibandingkan dengan anak-anak lain yang sekolah dengan sistem eksklusif. Ini
menunjukkan bahwa interaksi anak-anak normal dengan anak berkebutuhan khusus
dalam kelas inklusif mampu menumbuhkan karakter anak. Selain itu, kompetensi
sosial anak berkebutuhan khusus mengalami kemajuan, terutama dalam hal
kepercayaan diri sehingga mampu berbaur dengan anak-anak normal lainnya. Hasil
pengamatan tersebut menunjukkan bahwa secara tidak langsung pendidikan inklusi
membawa dampak pada karakter anak. Hal inilah yang menjadi pusat pengamatan
dalam studi kasus ini yaitu untuk melihat bagaimana perkembangan karakter
anak-anak dalam kelas inklusi yang difokuskan pada perkembangan empati anak.
Tujuan yang ingin dicapai dari studi ini adalah untuk mengetahui perkembangan
karakter anak-anak dalam kelas inklusi. Hasil pengamatan tersebut akan
bermanfaat sebagai evaluasi penerapan sistem pendidikan inklusi untuk
mengembangkan karakter anak pada usia dini.
Pendidikan Karakter dan Empati
Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi
manusia. Oleh karena itu, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia
tidak dapat ikut campur tangan atasnya (Koesoema, 2007: 90). Pendidikan karakter
mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan
salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya
(domain psikomotor). Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan
pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good
character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral,
moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action
atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu
memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Moral
action atau perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome)
dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang
dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek
lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan
(will) dan 3) kebiasaan (habit). Seorang anak tidak akan dapat
melakukan tindakan moral bila ia tidak memiliki kompetensi sosial, berkeinginan
dan terbiasan melakukannya. Tindakan moral merupakan sesuatu yang harus
dibiasakan pada diri anak sehingga menjadi bagian dari karakternya (Sjarkawi,
2006: 11). .
Moral action yang dapat diamati salah satunya adalah
empati. Kamus Psikologi (Kartono, 1987) memberikan definisi empati sebagai
pemahaman terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara
menemaptkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologis orang lain tersebut.
Empati merupakan salah satu kecakapan seseorang dalam memahami pikian dan
perasaan orang lain sedemikian pula sehingga seseorang itu biasa tahu apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain itu, dan selanjutnya seseorang tersebut
dapat bersikap bijak sesuai dengan pikiran, perasaan dan kei8nginan orang lain
tersebut tanpa mengorbankan emosi atau perasaan diri sendiri.
Empati berkenaan dengan sensitivitas yang bermakna sebagai suatu
kepekaan rasa terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional. Kepakaan rasa
ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang
lain. Dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas terdapat pada kemampuan
bertenggang-rasa. Ketika tenggang sudah muncul pada diris eseorang maka akan
diikuti dengan munculnya sikap penuh pengertian dan peduli pada sesama
(Setyawati, dkk. 2007: 2).
Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini
dari model pendidikan bagi anak berkelainan atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
dengan prinsip “selama memungkinkan, semua anak
seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.” Model pendidikan khusus
tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di
sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini
memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan
guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena
mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta
didik, model segregasi merugikan karena model segregatif tidak menjamin
kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena
kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara
filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk
kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan
dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa
model segregatif relatif mahal sehingga dikembangkan sistem pendidikan
inklusi.
Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik
merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah,
namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar. Semua
karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan
modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi
umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa
menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik.
Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping
merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa
sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya
pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan
inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk
belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan
dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan
ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri
mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari
segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang
sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan
kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi
satu sama lain (CSIE, 2005).
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi
langsung yaitu dengan mengamati perilaku anak-anak di kelas inklusi PAUD Rumah
Citta. Pengamatan dilakukan dikelas TK B dengan siswa yang berjumlah 24 yang
terdiri dari 23 anak normal dan 1 anak berkebutuhan khusus. Selain itu data juga
dikumpulkan melalui wawancara dengan guru-guru di Rumah Citta yang setiap hari
melihat perkembangan anak-anak dikelasnya. Indikator yang diamati adalah empati
pada anak-anak normal yang dilihat dari respon yang diberikan oleh anak-anak
normal ketika anak berkebutuhan khusus yang memerlukan bantuan.
HASIL
Rumah Citta merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang
mengembangkan lingkungan belajar inklusif. Nilai- nilai yang dikembangkan di
PAUD Rumah Citta antara lain adalah sebagai berikut: 1) pendidikan untuk semua
kalangan yang diterjemahkan dalam bentuk subsidi silang dan lingkungan belajar
inklusif, 2) nilai tradisional, 3) ramah lingkungan dan keberpusatan pada
anak.
Observasi yang dilakukan di PAUD Rumah Citta, Yogyakarta
menunjukkan hasil sebagai berikut:
-
Semakin banyak anak yang mau bermain dan membantu teman yang berkebutuhan khusus
-
Pendidik terbiasa lebih detil melihat kebutuhan anak dan merancang pembelajaran yang sesuai
-
Semua anak, dengan berbagai karakteristik dan latar belakangnya, dapat membangun sendiri pemahamannya tentang anak berkebutuhan khusus
-
Anak-anak, baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus belajar melalui interaksi dengan anak lain dan guru serta lingkungan.
-
Anak-anak berkebutuhan khusus mampu meningkatkan kompetensi sosial, terutama dalam hal interaksi dengan anak-anak lain.
Pada Gambar 1 (a) di bawah ini dapat dilihat seorang anak normal
membantu anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan di kelas. Gambar 1 (b)
menunjukkan kegiatan bersama anak-anak di PAUD Rumah Citta.
(a) (b)
Gambar 1
Kegiatan Belajar
Mengajar di PAUD Rumah Citta, Yogyakarta
Pembahasan
Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa anak-anak
normal dalam kelas inklusi memiliki tingkat empati yang lebih tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh kesediaan anak-anak normal untuk membantu anak-anak
berkebutuhan khusus di dalam kelas. Anak-anak berusaha berkomunikasi, memberikan
penjelasan, pengertian dan menunjukkan kesediaan untuk berbaur dengan anak-anak
berkebutuhan khusus. Anak-anak normal menunjukkan kecenderungan sikap penuh
pengertian pada anak berkebutuhan khusus sehingga mampu memberikan toleransi dan
bersedia memberikan bantuan.
Penuh pengertian merupakan dasar dari sikap empati. Penuh
pengertian melibatkan komponen kognitif maupun afektif. Komponen kognitif
mencakup kemampuan seseorang untuk mengetahui, mengenali, memahami dan mengerti
apa yang terjadi apda orang lain. Sedangkan komponen afektif merupakan kemampuan
dalam turut serta merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam pendidikan,
anak perlu dilatih untuk dapat mengenali perasaannya sendiri dan membedakan
berbagai macam perasaan yang dialaminya.
Penuh pengertian merupakan dasar dari sikap empati. Penuh
pengertian melibatkan komponen kognitif maupun afektif. Komponen kognitif
mencakup kemampuan seseorang untuk mengetahui, mengenali, memahami dan mengerti
apa yang terjadi apda orang lain. Sedangkan komponen afektif merupakan kemampuan
dalam turut serta merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam pendidikan,
anak perlu dilatih untuk dapat mengenali perasaannya sendiri dan membedakan
berbagai macam perasaan yang dialaminya.
Lingkungan kelas inklusi dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus
maupun anak-anak normal. Hal ini dilakukan oleh sekolah dengan merumuskan
kurikulum yang luwes untuk semua anak meliputi: indikator perkembangan minimal
dan pembelajaran dengan beragam metode dan kegiatan yang memungkinkan anak untuk
banyak melakukan eksplorasi, berinteraksi dengan banyak pihak, sesuai dengan
minat dan kemampuan anak didik serta dilakukannya evaluasi menyeluruh yang
meliputi proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai. Usaha tersebut dilakukan
untuk menciptakan lingkungan kelas inklusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan
anak berkebutuhan khusus dalam interaksinya dengan anak-anak normal. Untuk
mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut
bereaksi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan bermain dan
kegiatan kelas lain di mana anak berkebutuhan khusus sulit untuk melakukan
aktivitasnya tanpa bantuan. Misalnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (a),
seorang anak berkebutuhan khusus (autis) membutuhkan bantuan untuk melewati
titian balok.
Pada usia pra sekolah (sekitar usia 4-5 tahun) anak-anak yang
agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka.
Mayoritas dari anak-anak normal di PAUD Ruman Citta menunjukkan rasa peduli
mereka pada anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan hasil pembiasaan
dalam lingkungan inklusi. Anak-anak menjadi terbiasa melihat kebutuhan anak-anak
lain yang tidak sama dengan dirinya. Kesediaan untuk membantu anak-anak
berkebutuhan khusus ditanamkan dalam kelas inklusi sehingga dalam diri anak
tumbuh empati yang lebih besar.
Anak-anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya dideskripsikan
sebagai pribadi yang antisosial secara bertahap mampu mengembangkan kemampuannya
berinteraksi dengan anak lain dan lingkungan. Anak-anak menunjukkan kepedulian
mereka terhadap sesama melalui keramahan, kesediaan bermain bersama, dan
penerimaan, khususnya terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus. Peneliti
berpendapat bahwa respons ini merupakan reaksi terhadap sistem pembelajaran
inklusi yang diterapkan di dalam kelas yang memungkinkan anak-anak normal
melakukan interaksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus.
Peneliti juga memperhatikan bahwa anak-anak di Rumah Citta yang
memiliki masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka
diajarkan untuk peduli terhadap sesama. Menanamkan rasa kepedulian kepada
anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada
anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini. Empati pada
anak-anak berkebutuhan khusus yang ditanamkan pada anak-anak dengan masalah
perilaku atau anak-anak yang sering disebut nakal mampu mengurangi tingkat
agresi yang dilakukan anak-anak ketika mereka berada di lingkungan kelas
inklusi.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sistem pendidikan inklusi
dapat meningkatkan kualitas karakter anak pada usia dini, khususnya dalam hal
empati. Anak menunjukkan perhatian pada anak-anak berkebutuhan khusus yang
memunculkan kesediaan untuk membantu dan diikuti oleh tindakan moral dengan
membantu mereka. Kondisi ini tercapai dengan cara menanamkan kepedulian pada
sesama dalam lingkungan belajar yang inklusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar