Jumat, 12 Oktober 2012

PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK USIA DINI MELALUI PENDIDIKAN INKLUSI

Studi Pada Pendidikan Anak Usia Dini Rumah Citta Yogyakarta
Nindya Laksana, Edwin Setiyawan, Dian Kurniawati
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga





ABSTRAK
Pendidikan inklusi pada satu sisi merupakan suatu sistem pendidikan yang dirancang untuk memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus pada tingkat tertentu berbaur dengan anak-anak normal. Pada sisi lain pendidikan inklusi memunculkan peluang bagi anak-anak normal untuk berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam interaksi tersebut anak-anak normal diajar untuk peduli dengan kebutuhan anak lain dan memiliki rasa toleransi pada anak berkebutuhan khusus. Proses interaksi ini pada akhirnya akan membentuk anak dengan tingkat empati yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah berbaur dengan anak berkebutuhan khusus. Rumah Citta merupakan institusi pendidikan anak usia dini di Yogyakarta yang menjadi tempat penelitian pembentukan karakter pada anak usia dini melalui pendidikan inklusi. Di Rumah Citta, anak-anak normal berbaur dengan anak-anak berkebutuhan khusus dalam kelas inklusi. Dari hasil interaksi dalam kelas, anak-anak normal menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena adanya pembiasaan anak-anak normal untuk peduli dengan kebutuhan anak lain, yang dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus. Empati anak-anak ditunjukkan dalam bentuk respon kesediaan untuk bermain bersama dan membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah pendidikan inklusi dapat meningkatkan karakter anak pada usia dini, khususnya dalam hal empati.
Kata kunci: pendidikan karakter, empati, inklusi.


PENDAHULUAN
Sekolah adalah salah satu lembaga yang bertanggungjawab terhadap pembentukan karakter pribadi anak (character building), karenanya disini peran dan kontribusi guru sangat dominan. Sebagai suatu lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral bagaimana anak didik itu pintar dan cerdas sebagaimana diharapkan oleh orang tuanya. Tugas seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik anak, sehingga anak tidak hanya memiliki kecerdasan kogntif, tetapi juga memiliki karakter yang baik. Ini merupakan tujuan dari pendidikan, yaitu menciptakan keluaran kesejahteraan lahir dan batin, terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, sejahtera lahir dan batin, terampil dan memiliki jiwa kebangsaan (Keosoemo, 2007: 45).
Tujuan pendidikan di atas menunjukkan bahwa budi pekerti merupakan salah satu sifat yang diharapkan dimiliki oleh siswa sebagai peserta didik. Oleh karena itu budi pekerti sedini mungkin sudah diperkenalkan pada anak didik untuk menghasilkan sumber daya yang bermutu sesuai dengan tujuan pendidikan. Budi pekerti lebih menitikberatkan pada watak, perangai, perilaku atau dengan kata lain tata krama dan etika. Jadi, pendidikan budi pekerti secara sederhana diartikan sebagai penanaman nilai-nilai akhlak, tata krama, bagaimana berperilaku yang baik kepada seseorang. Pada perkembangannya, pendidikan budi pekerti tidak lagi cukup untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian yang baik (Isjoni, 2006). Dibutuhkan pendidikan budi pekerti yang tidak hanya melibatkan relasi sosial anak, tetapi juga melibatkan pengetahuan, perasaan dan perilaku anak yang berada dalam ranah pendidikan karakter.
Pembentukan karkater (character building) dapat dilakukan melalui pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Isu mengenai pendidikan karakter di Indoensia mulai mencuat pada tahun 2004 seiring dengan mulai berkembangnya sistem pendidikan inklusi yaitu sistem pendidikan yang memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus ikut berbaur dalam kelas reguler bersama anak-anak normal. Dalam hal ini anak-anak berkebutuhan khusus yang dimasukkan dalam kelas reguler adalah anak-anak berkebutuhan khusus pada tingkat tertentu yang dianggap masih dapat mengikuti kegiatan anak-anak lain meski memiliki berbagai keterbatasan.
Pengamatan yang dilakukan di lapangan, pada pendidikan anak usia dini yang menerapkan sistem pendidikan inklusi, dilihat adanya kecenderungan anak memiliki empati yang lebih besar pada anak-anak berkebutuhan khusus dibandingkan dengan anak-anak lain yang sekolah dengan sistem eksklusif. Ini menunjukkan bahwa interaksi anak-anak normal dengan anak berkebutuhan khusus dalam kelas inklusif mampu menumbuhkan karakter anak. Selain itu, kompetensi sosial anak berkebutuhan khusus mengalami kemajuan, terutama dalam hal kepercayaan diri sehingga mampu berbaur dengan anak-anak normal lainnya. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa secara tidak langsung pendidikan inklusi membawa dampak pada karakter anak. Hal inilah yang menjadi pusat pengamatan dalam studi kasus ini yaitu untuk melihat bagaimana perkembangan karakter anak-anak dalam kelas inklusi yang difokuskan pada perkembangan empati anak. Tujuan yang ingin dicapai dari studi ini adalah untuk mengetahui perkembangan karakter anak-anak dalam kelas inklusi. Hasil pengamatan tersebut akan bermanfaat sebagai evaluasi penerapan sistem pendidikan inklusi untuk mengembangkan karakter anak pada usia dini.


Pendidikan Karakter dan Empati
Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusia. Oleh karena itu, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya (Koesoema, 2007: 90). Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik  dan mau melakukannya  (domain psikomotor).  Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992)  menekankan pentingya tiga komponen  karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral.  Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Moral action atau perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya.  Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit). Seorang anak tidak akan dapat melakukan tindakan moral bila ia tidak memiliki kompetensi sosial, berkeinginan dan terbiasan melakukannya. Tindakan moral merupakan sesuatu yang harus dibiasakan pada diri anak sehingga menjadi bagian dari karakternya (Sjarkawi, 2006: 11). .
Moral action yang dapat diamati salah satunya adalah empati. Kamus Psikologi (Kartono, 1987) memberikan definisi empati sebagai pemahaman terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara menemaptkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologis orang lain tersebut. Empati merupakan salah satu kecakapan seseorang dalam memahami pikian dan perasaan orang lain sedemikian pula sehingga seseorang itu biasa tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain itu, dan selanjutnya seseorang tersebut dapat bersikap bijak sesuai dengan pikiran, perasaan dan kei8nginan orang lain tersebut tanpa mengorbankan emosi atau perasaan diri sendiri.
Empati berkenaan dengan sensitivitas yang bermakna sebagai suatu kepekaan rasa terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional. Kepakaan rasa ini adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas terdapat pada kemampuan bertenggang-rasa. Ketika tenggang sudah muncul pada diris eseorang maka akan diikuti dengan munculnya sikap penuh pengertian dan peduli pada sesama (Setyawati, dkk. 2007: 2).
Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan prinsip selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan karena model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal sehingga dikembangkan sistem pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar. Semua karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik.
Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi langsung yaitu dengan mengamati perilaku anak-anak di kelas inklusi PAUD Rumah Citta. Pengamatan dilakukan dikelas TK B dengan siswa yang berjumlah 24 yang terdiri dari 23 anak normal dan 1 anak berkebutuhan khusus. Selain itu data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan guru-guru di Rumah Citta yang setiap hari melihat perkembangan anak-anak dikelasnya. Indikator yang diamati adalah empati pada anak-anak normal yang dilihat dari respon yang diberikan oleh anak-anak normal ketika anak berkebutuhan khusus yang memerlukan bantuan.
HASIL
Rumah Citta merupakan institusi pendidikan anak usia dini yang mengembangkan lingkungan belajar inklusif. Nilai- nilai yang dikembangkan di PAUD Rumah Citta antara lain adalah sebagai berikut: 1) pendidikan untuk semua kalangan yang diterjemahkan dalam bentuk subsidi silang dan lingkungan belajar inklusif, 2) nilai tradisional, 3) ramah lingkungan dan keberpusatan pada anak.
Observasi yang dilakukan di PAUD Rumah Citta, Yogyakarta menunjukkan hasil sebagai berikut:
  1. Semakin banyak anak yang mau bermain dan membantu teman yang berkebutuhan khusus
  2. Pendidik terbiasa lebih detil melihat kebutuhan anak dan merancang pembelajaran yang sesuai
  3. Semua anak, dengan berbagai karakteristik dan latar belakangnya, dapat membangun sendiri pemahamannya tentang anak berkebutuhan khusus
  4. Anak-anak, baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus belajar melalui interaksi dengan anak lain dan guru serta lingkungan.
  5. Anak-anak berkebutuhan khusus mampu meningkatkan kompetensi sosial, terutama dalam hal interaksi dengan anak-anak lain.
Pada Gambar 1 (a) di bawah ini dapat dilihat seorang anak normal membantu anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan di kelas. Gambar 1 (b) menunjukkan kegiatan bersama anak-anak di PAUD Rumah Citta.
(a)     (b)
Gambar 1
Kegiatan Belajar Mengajar di PAUD Rumah Citta, Yogyakarta
Pembahasan
Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa anak-anak normal dalam kelas inklusi memiliki tingkat empati yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh kesediaan anak-anak normal untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus di dalam kelas. Anak-anak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menunjukkan kesediaan untuk berbaur dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak normal menunjukkan kecenderungan sikap penuh pengertian pada anak berkebutuhan khusus sehingga mampu memberikan toleransi dan bersedia memberikan bantuan.
Penuh pengertian merupakan dasar dari sikap empati. Penuh pengertian melibatkan komponen kognitif maupun afektif. Komponen kognitif mencakup kemampuan seseorang untuk mengetahui, mengenali, memahami dan mengerti apa yang terjadi apda orang lain. Sedangkan komponen afektif merupakan kemampuan dalam turut serta merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam pendidikan, anak perlu dilatih untuk dapat mengenali perasaannya sendiri dan membedakan berbagai macam perasaan yang dialaminya.
Penuh pengertian merupakan dasar dari sikap empati. Penuh pengertian melibatkan komponen kognitif maupun afektif. Komponen kognitif mencakup kemampuan seseorang untuk mengetahui, mengenali, memahami dan mengerti apa yang terjadi apda orang lain. Sedangkan komponen afektif merupakan kemampuan dalam turut serta merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam pendidikan, anak perlu dilatih untuk dapat mengenali perasaannya sendiri dan membedakan berbagai macam perasaan yang dialaminya.
Lingkungan kelas inklusi dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus maupun anak-anak normal. Hal ini dilakukan oleh sekolah dengan merumuskan kurikulum yang luwes untuk semua anak meliputi: indikator perkembangan minimal dan pembelajaran dengan beragam metode dan kegiatan yang memungkinkan anak untuk banyak melakukan eksplorasi, berinteraksi dengan banyak pihak, sesuai dengan minat dan kemampuan anak didik serta dilakukannya evaluasi menyeluruh yang meliputi proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai. Usaha tersebut dilakukan untuk menciptakan lingkungan kelas inklusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus dalam interaksinya dengan anak-anak normal. Untuk mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut bereaksi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan bermain dan kegiatan kelas lain di mana anak berkebutuhan khusus sulit untuk melakukan aktivitasnya tanpa bantuan. Misalnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (a), seorang anak berkebutuhan khusus (autis) membutuhkan bantuan untuk melewati titian balok.
Pada usia pra sekolah (sekitar usia 4-5 tahun) anak-anak yang agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka. Mayoritas dari anak-anak normal di PAUD Ruman Citta menunjukkan rasa peduli mereka pada anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan hasil pembiasaan dalam lingkungan inklusi. Anak-anak menjadi terbiasa melihat kebutuhan anak-anak lain yang tidak sama dengan dirinya. Kesediaan untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus ditanamkan dalam kelas inklusi sehingga dalam diri anak tumbuh empati yang lebih besar.
Anak-anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya dideskripsikan sebagai pribadi yang antisosial secara bertahap mampu mengembangkan kemampuannya berinteraksi dengan anak lain dan lingkungan. Anak-anak menunjukkan kepedulian mereka terhadap sesama melalui keramahan, kesediaan bermain bersama, dan penerimaan, khususnya terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus. Peneliti berpendapat bahwa respons ini merupakan reaksi terhadap sistem pembelajaran inklusi yang diterapkan di dalam kelas yang memungkinkan anak-anak normal melakukan interaksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus.
Peneliti juga memperhatikan bahwa anak-anak di Rumah Citta yang memiliki masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka diajarkan untuk peduli terhadap sesama. Menanamkan rasa kepedulian kepada anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini. Empati pada anak-anak berkebutuhan khusus yang ditanamkan pada anak-anak dengan masalah perilaku atau anak-anak yang sering disebut nakal mampu mengurangi tingkat agresi yang dilakukan anak-anak ketika mereka berada di lingkungan kelas inklusi.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sistem pendidikan inklusi dapat meningkatkan kualitas karakter anak pada usia dini, khususnya dalam hal empati. Anak menunjukkan perhatian pada anak-anak berkebutuhan khusus yang memunculkan kesediaan untuk membantu dan diikuti oleh tindakan moral dengan membantu mereka. Kondisi ini tercapai dengan cara menanamkan kepedulian pada sesama dalam lingkungan belajar yang inklusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar