Metode Debat
Metode debat
merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan
kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan
kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri
dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro
dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik
yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi
pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya
guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi
kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam
prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Metode Role Playing
Metode Role
Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati.
Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung
kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan
seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan
kemampuannya dalam bekerjasama.
- Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
- Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
- Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
- Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Metode
pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu
masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan
sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun
keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
- Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
- Berpikir dan bertindak kreatif.
- Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
- Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
- Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
- Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
- Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan
metode problem solving sebagai berikut:
- Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
- Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem
Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi
siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi
penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
- Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
- Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
- Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
- Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
- Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
- Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
- Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
- Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
- Membutuhkan banyak waktu dan dana.
- Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Skrip
kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara
lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
- Guru membagi siswa untuk berpasangan.
- Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
- Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
- Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
- Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
- Kesimpulan guru.
- Penutup.
- Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
- Setiap siswa mendapat peran.
- Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
- Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
- Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).
Picture and Picture
Picture
and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan
/ diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
- Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
- Menyajikan materi sebagai pengantar.
- Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
- Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
- Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
- Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
- Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
- Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
- Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan
banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.
Numbered
Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari
siswa.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
- Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
- Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
- Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
- Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
- Kesimpulan.
Kelebihan:
- Setiap siswa menjadi siap semua.
- Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
- Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
- Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
- Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
Metode
investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan
paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini
melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara
untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan
proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode
investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok
dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap
suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti
investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian
menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topik
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Metode Jigsaw
Pada
dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi
komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok
belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota
bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan
guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang
bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang
terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa
ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan
menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan
subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa
tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam
subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada
temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh
siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi
yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus
menguasai topik secara keseluruhan.
Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran
kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif
yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada
perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung
unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan
kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40
Model Student Teams – Achievement
Divisions (STAD)
Siswa
dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota
lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
- Guru menyajikan pelajaran.
- Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
- Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
- Memberi evaluasi.
- Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Examples
Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh.
Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
- Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
- Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
- Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
- Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
- Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
- KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
Lesson
Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh
Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama
ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap
perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan
dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2)
kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar
terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses
pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti
tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah
mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap
pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam
tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran
berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/
pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa,
sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
Abstrak.
Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat
digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang merupakan satu
kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yaitu assurance,
relevance, interest, assessment, dan satisfaction yang dikembangkan berdasarkan
teori-teori belajar.
Model
ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di
Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi
Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa
model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil percobaan tersebut model
pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan
kegiatan pembelajaran dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar siswa.
Kata
kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Salah
satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil belajar
siswa. Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten dan
propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah (Lastri 1993:12). Nilai
Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1993/1994 sampai dengan
1997/1998) menunjukkan hasil belajar yang kurang menggembirakan (Depdikbud,
1998).
Hasil
belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal)
maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang
termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya
kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang
termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya
guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga
faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif,
motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah
kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model
pembelajaran yang digunakan.
Sering
ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan baik
tetapi tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu
terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran
tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. Timbul pertanyaan
apakah mungkin dikembangkan suatu model pembelajaran yang sederhana,
sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik sehingga dapat membantu
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu,
maka dengan memperhatikan berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu
model pembelajaran yang disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua
sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model
pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi
dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran ARIAS ini dapat
digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran
dengan baik, dan sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan percobaan lapangan ini untuk
mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar.
2. Kajian Teori dan Pembahasan
2.1 Model Pembelajaran ARIAS
Model
pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987:
2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat
mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini
dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang
mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan
harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen
tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen
model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction
dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model
pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan
pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada
model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi
merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran.
Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi
perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan
untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar
yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama
proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan
Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya
evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen
evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan
modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen
yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence
(percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi).
Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance,
dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri)
menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence
(Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa
siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa
percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga
penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat)
sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak
hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap
memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun
dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan
satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan
pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan
pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan
memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan
rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan
mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS
sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi
ini disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model Pembelajaran
ARIAS
Seperti
yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen
(assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun
berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan
yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing
komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan
meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Komponen
pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu
berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan
harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip
oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri
tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di
mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan
mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap
ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini
menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan
berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan
(Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian
positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus
menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu
ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal
guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri
dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk
melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil
yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
-
Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada
siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang
terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau
potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah
satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa.
Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil
dapat mengubah sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para
ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri
menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan
secara luas di sekolah-sekolah.
-
Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai
keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab
pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
-
Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai
dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang
mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap
sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti
dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu
usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
-
Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan
melatih suatu keterampilan.
Komponen
kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan
siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang
berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller,
1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki
nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong
mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan
kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah
tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan
akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang
jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman
apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan
yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam
kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam
pembelajaran adalah:
-
Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan
memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk
mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil
belajar mereka.
-
Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang
dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
-
Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan
pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu
bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang
langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain
memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan
mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental,
emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup
permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai
alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan.
Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media
pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen
ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan
minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966:
23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller
seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan
pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga
harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu,
guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian
dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya
minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa
melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik
sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara
minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan
dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian
merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar
siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga
minat/perhatian siswa antara lain adalah:
-
Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh
yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
-
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan
dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu
dipecahkan.
-
Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti
dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat
ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
-
Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi
dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk
menarik minat/perhatian siswa.
Komponen
keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan
dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam
pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982:
336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi
merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh
siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok;
untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam
belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan
kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan
motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa
dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai.
Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan
pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh
guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self
assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap
diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa
untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang
maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki
diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan
evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa
meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi
diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif
sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk
meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang
dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76)
bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam
kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan
evaluasi antara lain adalah:
- Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
- Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen
kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan
dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction
adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau
mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan
dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai
keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau
penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting
dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut
Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri
individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas
dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu.
Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu,
yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik
(Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang
dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun
nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward)
menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan suatu
penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian,
memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu,
rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri siswa. Beberapa
cara yang dapat dilakukan antara lain :
- Memberi
penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun
non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru :
“Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!”. Menganggukkan kepala
sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu
pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil
melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang
simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk
melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari
sebelumnya.
- Memberi
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru
diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.
-
Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa
dikenal dan dihargai oleh para guru.
- Memberi
kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami
kesulitan/memerlukan bantuan.
2.3
Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan
model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan
kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru
atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran
misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan
pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan
bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah
mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah
tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya
diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan
minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga
pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang
akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media
pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan
bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan
kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa.
Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa.
Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS.
Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat
menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang
dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi
bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang
dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan
kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan
mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar
yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan
berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah memahami
bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa dapat
membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai
apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap
kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan
keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.
3.
Hasil Percobaan di Lapangan
Model
pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang
berbeda. Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V dari sebuah
sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu caturwulan yaitu catur
wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini diambil sebagai sampel secara
acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota Palembang yang memiliki
kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini diambil 60 orang siswa kelas V
sebagai sampel yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok, di mana
masing-masing kelompok berjumlah 15 orang siswa. Sampel siswa ini juga diambil
secara acak sederhana. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan
faktorial 2 x 2. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes
hasil belajar dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data
yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA—2 jalur dengan uji F pada
taraf signifikansi a = 0,05.
Percobaan
kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2 dilaksanakan di
SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin.
Lama percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran
1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke dalam
empat kelompok di mana masing-masing kelompok berjumlah 20 orang siswa. Baik
sampel SD maupun sampel siswa diambil secara acak sederhana. Untuk memperoleh
data yang diperlukan digunakan tes motivasi berprestasi. Data yang diperoleh
juga dianalisis dengan ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a =
0,05. Seperti halnya pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga
dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan
uji Bartlett untuk homogenitas data.
Apakah
motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran
ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun pada percobaan kedua, siswa
dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan eksperimen. Kegiatan pembelajaran
pada kelompok eksperimen dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran ARIAS.
Satuan pelajaran yang disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS
disusun/dikembangkan oleh penulis. Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran
dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran
disusun oleh guru kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan
pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal
adalah:
(1)
Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis skor tes
awal setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek yang berbeda;
(2)
Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari
efek perbedaan instrumen pengukur;
(3)
Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama penelitian
berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam percobaan;
(4)
Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek pematangan
dan efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:
1.
Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang
memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;
2. Suasana
belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama seperti
hari-hari belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran ARIAS pada
kelompok eksperimen, untuk menghindari efek lingkungan yang dapat menyebabkan
reaksi yang berlebihan dari siswa;
3. Selama
percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari
efek Howthorne dan John Henry.
Hasil ANAVA
menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih besar dari Ft=4,02
pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua
kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 – 121). Hasil ini
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS
lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Pada
percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari Ft=3,96 pada taraf signifikansi a =
0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok adalah XA=18,55 >
Xn-A=15,98 (Sopah,1998: 99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi
berprestasi siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada
mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
Hasil kedua
percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap
motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi dan hasil belajar
siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang
mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
4.
Penutup
Dari hasil
kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan
lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki
beberapa keterbatasan, yaitu:
Dari hasil
kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan
motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini
menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki beberapa
keterbatasan, yaitu:
- Percobaan
ini dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di Kota Palembang
(percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin
(percobaan kedua). Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun jumlahnya
sangat terbatas, sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan ke
wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu penelitian sejenis lainnya dengan
sebaran dan wilayah sampel yang lebih luas. Dengan dukungan hasil penelitian
sejenis ini maka diharapkan dapat merupakan bahan pertimbangan penggunaan model
pembelajaran ARIAS di Sekolah Dasar.
- Waktu
yang digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya berlangsung
selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka bahan atau materi yang
diberikan juga terbatas, belum begitu banyak. Meskipun dalam percobaan ini
telah dilakukan pengendalian secara cermat, namun karena terbatasnya waktu dan
bahan yang diberikan kemungkinan adanya pengaruh variabel lain yang tidak
terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang
waktunya lebih lama, bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga dapat
lebih mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa atau tidak.
- Bidang
studi yang digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu subbidang
studi. Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini belum tentu
memberikan hasil yang sama pada bidang studi lain. Karena itu juga perlu adanya
penelitian sejenis lainnya pada berbagai bidang studi, sehingga dapat
mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap hasil belajar
siswa.
- Dalam
percobaan ini satuan pelajaran yang disusun menurut model pembelajaran ARIAS,
baik untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh
penulis. Satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan
ternyata hasilnya baik. Hasil baik ini mungkin perlu didukung oleh penelitian
sejenis lainnya di mana satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS
disusun oleh guru bersangkutan. Dengan demikian akan terlihat apakah memang
satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun oleh guru dengan
berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih baik.
Pustaka
Acuan :
Beard, Ruth
M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan
Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
RIWAYAT
HIDUP
Djamaah
Sopah, lahir di Penggage, 14 April 1944. Menyelesaikan Sarjana Muda Pendidikan
dari IKIP Bandung Cabang Palembang tahun 1967 dan Sarjana Pendidikan jurusan
Pendidikan Umum di FKIP Unversitas Sriwijaya tahun 1974. Pada tahun 1982
mengikuti pendidikan Pascasarjana di University of Kentucky, USA, dan
memperoleh gelar Master of Science in Education dalam bidang Curriculum &
Instruction tahun 1984. Pada tahun 1985 mendapat ijazah Akta Mengajar V dari
Universitas Terbuka. Tahun 1999 memperoleh gelar Doktor dalam bidang Teknologi
Pendidikan dari IKIP Jakarta.
Dari tahun
1962 sampai tahun 1974 pernah menjadi guru dan Kepala SD, guru SMP, guru SPSA,
serta guru dan Kepala SPG. Sejak tahun 1974 sampai sekarang menjadi dosen pada
FIP/FKIP Universitas Sriwijaya. Di samping itu pernah menjadi Koordinator
Instructional Improvement Network-WUAE, BKS/B-USAID 1985-1990. Instruktur pada
penataran Pengembangan Pembelajaran di berbagai Perguruan Tinggi Negeri di
Wilayah Indonesia Bagian Barat dan berbagai PTS di KOPERTIS Wilayah II (1984-1990).
Pada tahun 1987 diundang sebagai instruktur pada “the WUAE-BKS/B Training
Institute” University of Kentucky, USA.
Artikel
ilmiah yang pernah ditulis antara lain: “Komunikasi antara Orangtua dan Anak”
disajikan pada Diskusi Panel ISWI Palembang, 1990. “Transparansi OHP sebagai
Media Instruksional” (Suara Guru No. 5 Th. XLVI/1997). “Motivasi Berprestasi,
Perhatian Orangtua dan Hasil Belajar” (Forum Kependidikan No. 2 Th. XIII/1996).
Sedangkan seminar/workshop internasional yang pernah diikuti antara lain
“Mid-Winter Community Seminar (Tuskeege, USA, 1982).
“The
International Development Training Workshop” (Lexington, USA, 1983).
Sumber:
Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang – Depdiknas